suarahebat.com, Jakarta -- Kekhawatiran bahwa utang negara akan menjadi beban bagi generasi muda mencuat dalam forum Economic Outlook 2025 yang dimuat di kanal Youtube Kompas TV.
Pertanyaan ini mengemuka ketika seorang mahasiswi mempertanyakan keberlanjutan kebijakan fiskal pemerintah di tengah meningkatnya pembiayaan negara dan ketidakpastian ekonomi global.
Adalah Fania Putri Mahya, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pancasila, yang menyampaikan pertanyaan tersebut. Ia menyoroti peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen penting stabilitas ekonomi, sekaligus mempertanyakan dampaknya bagi generasi mendatang.
“APBN itu kan memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global. Namun di saat yang sama pembiayaan negara dan kewajiban fiskal juga terus meningkat,” ujar Fania.
Ia kemudian mempertanyakan, “Bagaimana Bapak memastikan bahwa kebijakan utang dan APBN hari ini benar-benar melindungi generasi muda dan tidak mewariskan beban fiskal di masa depan?”
Pertanyaan tersebut merepresentasikan keresahan yang kerap muncul di kalangan mahasiswa dan generasi muda, yang khawatir harus menanggung konsekuensi dari kebijakan fiskal hari ini di masa depan.
Menanggapi hal tersebut, Purbaya yang menjadi narasumber dalam forum tersebut menjelaskan bahwa utang negara harus dilihat dalam kerangka kebijakan fiskal secara menyeluruh, bukan semata dari besarnya angka utang.
Ia menjelaskan bahwa utang merupakan bagian dari instrumen fiskal yang digunakan untuk menjaga stabilitas ekonomi. Dalam kondisi tertentu, utang justru diperlukan untuk mendorong aktivitas ekonomi.
“Utang itu tadi saya bilang kan fiskal itu kontraktif atau ekspansif. Kalau lagi didorong, kalau lagi cepat bisa direm sedikit, dinaikkan pendapatan pajaknya, defisitnya bisa dikurangin atau dibuat surplus,” kata Purbaya.
Namun, menurutnya, perdebatan soal utang hampir selalu dikaitkan dengan isu kesinambungan fiskal. Hal ini bukan semata-mata karena kekhawatiran publik, tetapi juga karena cara pandang para pemberi pinjaman.
“Utang itu berhubungan dengan kesinambungan kebijakan fiskal sendiri. Kenapa utang selalu diperhatikan orang? Karena yang ngasih pinjaman itu minta return, minta bayaran bunganya. Dia pengin tahu negara itu mampu membayar utang atau mau membayar utang,” ujarnya.
Purbaya menegaskan, selama dua hal tersebut kemampuan dan kemauan membayar masih dipercaya, maka sebuah negara akan tetap memiliki akses pembiayaan. Sebaliknya, jika salah satunya diragukan, kebijakan fiskal akan dinilai tidak berkesinambungan.
“Begitu kita dianggap salah satu tidak masuk, maka fiskalnya dianggap tidak berkesinambungan,” lanjutnya.
Untuk mempermudah pemahaman, Purbaya menggunakan analogi sederhana. Ia membandingkan dua perusahaan dengan skala pendapatan berbeda, tetapi memiliki jumlah utang yang sama.
“Bayangkan dua perusahaan, satu revenue-nya Rp1 juta, satu lagi Rp100 juta. Kalau yang Rp1 juta tadi pinjam Rp1 juta kan sudah mepet. Tapi kalau yang Rp100 juta pinjam Rp1 juta, itu cuma satu per seratus dari income-nya,” jelasnya.
Analogi tersebut digunakan untuk menjelaskan mengapa dalam konteks negara, ukuran yang digunakan bukanlah angka utang secara nominal. Ukuran yang lebih relevan adalah rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), serta rasio defisit anggaran terhadap PDB.
Menurut Purbaya, dalam ilmu ekonomi tidak ada angka pasti yang menentukan kapan sebuah negara bisa dinyatakan bangkrut. Namun, rasio-rasio tersebut digunakan sebagai pegangan oleh komunitas global.
“Di ilmu ekonominya enggak ada hitungan yang pasti berapa suatu negara bangkrut atau enggak. Tapi mereka pakai rasio-rasio itu sebagai pegangan,” ujarnya.
Salah satu acuan yang paling dikenal adalah Maastricht Treaty di Eropa. Dalam kesepakatan tersebut, rasio defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen terhadap PDB, sementara rasio utang terhadap PDB tidak boleh melebihi 60 persen.
Purbaya menyebut, Indonesia hingga saat ini masih berada dalam batas tersebut.
“Rasio defisitnya di bawah 3 persen, dipaksa di bawah 3 persen terus. Utang ke PDB-nya 40 persen lebih sedikit, karena kemarin membiayai krisis COVID,” katanya.
Ia kemudian membandingkan kondisi fiskal Indonesia dengan negara-negara maju. Menurutnya, banyak negara yang justru melampaui batas rasio tersebut.
Wilmar Buka Suara Usai Kejagung Sita Rp 11,8 T di Kasus Minyak Goreng
Ribuan Warga Australia Menanti Dievakuasi dari Iran-Israel
Ribuan Massa AMMP Kepung Kantor Gubernur Riau, Tolak Relokasi Kawasan TNTN
Truk ODOL Bandel Masih Berkeliaran di Pekanbaru, Dishub dan Polda Riau Beri Peringatan
Ketua Umum FPKB Sindir Keras Demo Sepi Pendukung: “Lebih Baik Bikin Kegiatan Bermanfaat dari pada Hanya cari sensasi
Ida Yulita Diduga Rugikan Negara Rp704,9 Juta, GEMMPAR Siap Gelar Aksi di Depan Kajari
UMKM FPKB adakan lomba kuliner khas Melayu dengan hadiah puluhan juta
Pengacara Syafrizal Andiko, S.H., M.H. Menangkan Perkara Perdata Suparman melawan Ferry Kamsul atas Sengketa Tanah dan Rumah di Kampar
Setoran Pajak Lesu, APBN Dalam Bahaya?
Maraknya Arena Judi Berkedok Gelper Bebas Beroperasi Di Dumai, Diduga Kapolres Tutup Mata
IMO-Indonesia Dorong Pembentukan Satgas Informasi Bencana Sumatera
Gelanggang Permainan Yang Diduga Beraroma Judi Bebas Beroperasi Di Dumai, Diduga Kapolres Tutup Mata
.jpg)
.jpg)